I made this widget at MyFlashFetish.com.

Rabu, 19 Oktober 2011

Sense of Belonging yang Rendah


Salam.
Digemakan ayat suci pukul 04.28 dini hari tadi (141011) membangunkan saya yang masih tertidur dengan pakaian seperti yang kukenakan saat berangkat kuliah kemarin pagi. Membayangkan mimpi yang terlewati tadi di mana kejadian kemarin terekam lagi olehnya kali ini. Ku renungkan.....

Yang melatar belakangi saya menulis catatan ini adalah opini-opini yang saya dapatkan kemarin (Kamis, 13102011) pada saat mengikuti seminar dengan tema  “Dari Social Network Menuju Collaboration Network” dan membaca salah satu opini di koran “Kurangnya Kepercayaan Rakyat Terhadap Pemimpin”.

Kepemimpinan strategis dalam suatu organisasi sangat penting. Mengapa? Karena ini memberikan visi dan arah untuk pertumbuhan dan keberhasilan organisasi. Kepemimpinan strategis tidak hanya  memberikan arah tetapi juga membangun sense of belonging dan keselarasan dalam kelompok kerja mereka dalam menghadapi dan menerapkan perubahan yang terus menerus.

Pemimpin harus mengkomunikasikan visi perusahaan kepada segenap pelaku organisasi. Visi berupa mimpi yang harus dicapai oleh organisasi. Ibarat sebuah kapal lengkap dengan awaknya yang masing-masnig memimiliki spesilisasi, tanggung jawab dan tugasnya maka seorang pemimpin adalah kapten kapal tersebut. Seorang kapten tidak sekedar berfungsi mengkoordinir bagaimana setiap bagian kerja namun lebih dari itu, dia bertugas menentukan arah dan tujuan dari kapal dan memastikan bahwa setiap fungsi melaksanakan tugasnya demi tercapainya tujuan yang ditetapkan. Tanpa visi atau tak dipahaminya visi oleh semua pelaku organisasi, maka organisasi akan berjalan tanpa arah dan tujuan. Pada organisasi semacam ini, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, pertama, organisasi tersebut dalam menjalankan operasional kesehariannya asal jalan begitu saja, sedangkan kemungkinan yang lain adalah setiap individu fokus mengejar kepentingan pribadi masing-masing (gaji, misalnya) dan organisasi tidak lebih dari sekedar lembaga atau brand yang menaungi mereka. Ini membuat pelaku-pelaku organisasi mengalami disorientasi. Adanya resistensi dan mempertahankan status quo dalam menghadapi perubahan. 

Visi dan strategi organisasi berkaitan erat dengan efektivitas kepemimpinan. Tanpa adanya efektivitas kepemimpinan, pemimpin tak lebih dari sekedar simbol yang tiada arti. The real pemimpin—bukan hanya pimpinan—adalah ia yang mampu dan baik dalam memberikan ide-ide atau konsep, bagi dirinya dan orang lain dan mampu dalam tindakan.

Kemudian apa hubungannya dengan seminar “Dari Social Network Menuju Collaboration Network”? Pembicara saat itu mengatakan bahwa sekarang kita harus sensitif terhadap perubahan. Sekarang  adalah zamannya collaboration network, tidak ada posisi otoritas subjek dan objek. Yang dapat saya tangkap dari collaboration network adalah adanya peran serta segala pihak yang berpengaruh terhadap suatu organisasi. Membuka paradigma horizontal. Dalam perusahaan bisnis, pelanggan, supplier, dan sebagainya juga turut serta dalam bagaimana menciptakan produk oleh produsen. Sekalipun pimpinan dalam organisasi adalah seorang pemimpin yang super, tetap saja organisasi tidak akan bergerak ke arah yang diharapkan tanpa adanya partisipasi dari anggota-anggota organisasi. Artinya, tidak terjadi pula kolaborasi antarpelaku organisasi secara internal.
Kita mungkin dapat melihat masalah-masalah yang ada di Fakultas Ekonomi kita dengan pendekatan ini—tanpa adanya maksud berprasangka buruk, namun lebih kepada bersikap kritis atas realitas yang ada. Pembicara kedua pada saat seminar mengatakan bahwa Lembaga Kemahasiswaan hari ini melihat semut di ujung jalan tapi tidak melihat gajah di pelupuk mata, artinya adalah aktivis-aktivis kampus berkoar-koar turun ke jalan—ke luar—memperjuangkan sesuatu yang jauh daripada berani mengkritisi atau memprotes secara aksi permasalahan yang ada di Fakultas kita. Beliau mungkin belum tahu apa yang sudah dilakukan oleh Lembaga Kemahasiswaan (LEMA) sebelumnya. LEMA melakukan beberapa langkah dalam mengkritsi berbagai permasalah yang ada di Fakultas yang pertama yaitu dengan mengadakan dialog kemahasiswaan—cara kekeluargaan—sebagai forum ‘curhat’ segenap mahasiswa yang merasa banyak permasalahan yang terjadi di Fakultas ini. Beberapa kali dialog ini dilakukan oleh LEMA walaupun jawaban birokrasi dari semua dialog adalah ‘Iya, nanti kita tampung’. Bukan berarti LEMA tidak ingin melakukan aksi dalam menghadapi permasalahan ini, menurut pengamatan saya bahwa, beberapa anggota LEMA masih rela mempertahankan ‘cara keluarga’ untuk memperbaiki atau menyelesaikan masalah di Fakultas bersama orang tua-orang tua kita walaupun jawaban mereka tidak memberikan perubahan yang berarti walaupun beberapa anggota LEMA sudah merasa bahwa dialog kemahasiswaan bukan lagi cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Pada masalah ini dapat dilihat bahwa tidak terjadinya collaboration secara internal antarpelaku organisasi . paradigma hirarkis, birokrasi adalah subjek, mahasiswa objek.
Pertanyaannya kemudian, permasalahan apa yang ada di Fakultas dan apa penyebabnya? Dari sisi akademik, ada sebagian dosen yang tidak menerapkan SCL, tidak membiarkan mahasiswa mengkritisi teori-teori (bayangkan saja ketika mahasiswa mengkritisi teori, ia mendapatkan IP 0,0 dalam 4 semester!), ini membuat mahasiswa tidak dapat dapat berpikir dinamis—akibat gengsi seorang dosen. Kemudian, dosen yang masuk kelas hanya untuk mengabsen kemudian keluar dan memberikan pertimbangan nilai dengan nominal rupiah yang memberatkan mahasiswa tanpa memberikan atau membuka forum diskusi belajar dan mengajar. Selanjutnya, masalah akomodasi infrastruktur yang tidak mendukung proses perkuliahan dan aktivitas LEMA—misalnya AC hanya sebagai pajangan, WC yang berbau akibat kekurangan air sehingga kita harus menumpang buar air dan berwudhu di Fakultas tetangga setiap harinya, bahkan di Pertamina—menurut WD III periode sebelumnya, yang dapat menyaingi dana Fakultas Ekonomi hanyalah Fakultas Kedokteran! Ini melegitimasikan bahwa FE mampu membangun infrastruktur yang lebih hanya saja ‘kita tunggu saja tanggal mainnya’. Namun ketika pertanyaan kenapa infrastruktur ini masih juga tidak memadai pada bagian perlengkapan, beliau menyatakan bahwa, dana yang kita gunakan adalah dana dari pusat. Kita tidak dapat membangun infrastruktur ketika pihak pusat belum meng-acc rencana pembangunan ini. Kontradiksi.
Salah satu pembicara pada seminar kemarin juga mengatakan mengapa LEMA tidak mengkritisi secara aksi ‘pintu alfamart’ (pintu dahulu, alfamart beserta isinya kemudian, haha) dan TV, beserta taman yang dibangung saat ini*. Berapa banyak dana yang harus dikeluarkan Fakultas dalam membangun ini daripada menambah buku-buku perpustakaan yang dari zaman batu masih ada di perpustakaan kita, dari pada WC yang kering. Teringat kejadian setelah seminar kemarin, saya dan teman ingin melaksanakan shalat zuhur dan mendapati tempat wudhu Mushalla Ekonomi dikunci karena air tidak mengalir, “Sekke mentong ine Ekonomi”, seorang bapak—sepertinya dosen—menanggapi pernyataan saya dengan menanyakan,”Anak Ekonomi, bukan?”, “Iya”, belliau menanggapi dengan cengiran agak sinis dan mengatakan “Nda sekke tapi habis airnya”. Gosh!  Airnya habis karena?? You-know-why.Mempercantik diri daripada mempercantik isi kepala. Beautiful is nothing without brain.
*Tanggapan pernyataan ini telah disebutkan sebelumnya di atas.

Masalah yang ironis juga terjadi pada pelayanan akademik. Dari sekian banyak pegawai akademik, hanya sebagian (sangat sedikit) orang saja yang mampu dan rela melayani urusan akademik mahasiswa dengan baik dan ramah. Jawaban yang diberikan selalu saja ketus tak pernah baik bahkan ekspresi datar pun tidak kecuali baginya yang you-know-what (merujuk kepada salah satu pegawai laki-laki) atau bisa kita sebut beliau MATI KIRI! Tak jarang ada seorang pegawai yang melayani dengan memarahi mahasiswa tanpa alasan dan saya yakin itu tidak pantas, bahkan mengeluarkan kata-kata kotor (sumpah ketika menulis ini saya meradang , mengencangkan rahang, dahi berkerut, alis dan mata menajam. :D), menyusahkan proses pelayanan akademik—mem-pingpong mahasiswa. Hal ini membuat mahasiswa menganggap Kantor Pelayanan Akademik adalah Neraka—sekalipun kau bisa online dan ngadem dengan santainya di dalam, dan pastinya tanpa berinteraksi, bahkan sedikitpun melirik pegawai-pegawai yang nggak banget itu. (astaghfirullahaladzim).

Apa penyebab ini semua? Sekali lagi, menurut analisis saya bahwa kita dapat melihat permasalahan ini dengan dua paradigma di awal tadi, yakni ketidakefektifan kepemimpinan dan tidak adanya kolaborasi antarpelaku organisasi.
Pelaku-pelaku organisasi mungkin tidak memahami ‘mimpi’ kita—mimpi Fakultas Ekonomi. Mungkin tidak terimplementasinya kepemimpnan strategis—terkomunikasikannya visi kita dengan baik—sehingga pelaku-pelaku organisasi ini tidak memiliki sense of belonging terhadap sesuatu yang sedang dijalankannya saat ini dan selama ini. Atau kah adanya resistensi, menolak perubahan sehingga tidak adanya inisiatif berkolaborasi dengan pihak-pihak yang berpengaruh terhadap fakultas. Pelaku-pelaku benar-benar hanya menjalankan aktivitas organisasi sebagai rutinitas belaka, yang terpenting adalahsaya mendapat gaji dan saya dapat menghidupi diri saya dan keluarga saya.  Birokrasi—sebagian pelaku organisasi—menganggap mereka subjek dan mahasiswa dijadikan objek, “kami (birokrasi) tidak butuh kamu, tapi kamu butuh kami”. Tak ada rasa kesatuan antara Anda dan kami, tak ada pemahaman bahwa segenap pelaku dalam Fakultas bahkan pegawai CS sekalipun adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam berjalannya aktivitas Fakultas. Namun, tak hentinya terima kasih ku haturkan kepada kalian Bapak dan Ibu yang ada di ‘atas’ yang membantu kami dalam aktivitas perkuliahan dan nonperkuliahan.

Bukan berarti tak ada masalah seprti ini di LEMA. LEMA yang disoriented biasanya dijalankan oleh orang-orang yang belum paham apa visi LEMA (berupaya menyinggung diri sendiri). Lagi-lagi menjalankan kepengurusan hanya sebagai rutinitas tahunan, “Oh giliran ta mi sekarang mengurus di’, ayok buat proker, selesaikan proker”. Tak terpahami transformasi nilai yang terjadi dalam proses ini. keberhasilan kepengurusan hanya dianggap ketika setiap departemen mampu menyelesaikan proker-proker yang ada tanpa ada pertimbangan nilai. Ini sama saja halnya kaum materialis yang hanya memperhitungkan varibel kuantitas yang selama ini kita teriakkan TIDAK untuknya. Say no to drugs ?? Say NO to Capitalism? Or...say NO to LEMA ?? (astaghfirullah, naudzubillah >.)
Juga, belum adanya sense of belonging yang berakibat tidak adanya rasa tanggung jawab, apatis, dan pragmatis (eaaaa) dalam menjalankan kepengurusan. Di atas telah disebutkan bahwa organisasi yang tak jelas arahnya dapat terjadi dua kemungkinan yakni, pelaku organisasi hanya menjalankan kepengurusan asal jalan saja dan fokus mencapai kepentingan pribadi. Kalau di atas tadi organisasi bisnis self-interest-nya adalah gaji, di LEMA adalah ‘aktualisasi diri’ dalam artian jabatan hanya  dipakai sebagai ‘parfum’ yang tidak melekat pada tubuh (You know what the meaning of the maksuddon’t you?? Yeah, udang di balik batu)

p.s : Sekali lagi tulisan kali ini sebuah bentuk perenungan atas tanggung jawab saya sebagai mahasiswa di bidang akademik dan lembaga. Mencoba menyindir diri sendiri, yang selama ini berkutat untuk mengupgrade diri dalam proses belajar di kelas dan di lembaga sebagai salah satu media untuk menuju insan paripurna yang masih sangat jauh dari kesempurnaan. Mungkin kalian bisa bilang saya egois kalau dengan berlembaga adalah untuk mengupgrade diri dan menuju keparipurnaan. Namun kalian harus tahu, dengan saya memperbaiki diri saya, saya akan sedapat mungkin berlaku baik terhadap lingkungan sekitar. Semoga kalian mengerti maksud saya, “Menjalani hidup sepenuhnya di luar berawal dari Dalam”.

Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar