Berbeda akidah tak akan ada ukhuwah?
Aku muslim dan kau kafir.
Bersaudara? Never!
Realita sekarang ini semakin jauh dari perdamaian, persaudaraan, persatuan. Setiap kelompok juga individu saling menjustifikasi kebenaran yang ada pada kelompok dan diri masing-masing. ‘Saya benar dan kau salah’, ‘saya muslim dan kau kafir’, ‘saya kay dan kau miskin’, ‘saya pintar dan kau bodoh’, ‘gue gaul dan elo nggak’, ‘aku indah dan kau jelek’, aku berkuasa dan kau tak bisa apa-apa’, aku ini dan kau itu. Apa lagi?
Banyak dari saudara kita yang kelebihan bahkan berlimpahan materi yang seharusnya dekat dengan mereka yang kekurangan, justru semakin menjauhkan diri. Gengsi bahkan pelit untuk berbagi sedikit dari yang berlimpahan itu. Masing-masing mengasingkan diri dan diasingkan.
Beberapa cendekiawan tak lagi menjalankan kewajibannya sebagai orang yang tahu maka harus memberitahu. cendekiawan tak lagi rela berbagi ilmu kepada mereka yang tak sanggup mengenyam pendidikan yang makin hari marak menstandar internasionalkan institusi pendidikannya dan dengan biaya yang ‘internasional’ pula. Tak sanggup pintar akibat negara yang ‘salah baca’ UU 45 atau lupa sudah menetapkan UU tersebut, yakni pasal 34 “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” dan pasal 31, 1) Tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Tapi semua bisa lihat tanpa mata, negara ‘salah baca’, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara keterlantarannya oleh negara”. Orang-orang lagi-lagi mengasingkan diri yang lainnya. Orang-orang pintar mendukung negara dalam proses ‘pembodohan’.
“Gue anak gaul, mann!! Nih, gue pake BB. Di kantong kiri gue ada iphone, di tas gue ada ipad, tiap weekend gue clubbing coii..., liat nih jari-jari gue berkilau gara-gara berlian mangkir di sini, pergelangan tangan gue makin indah dengan rolex. Kaki gue tambah cantik minimal dengan gosh. Senyum gue makin manis dengan behel pelangi. Gue makin gaul dengan roda empat gue gas kemana-mana. Elo apa?? Rambut elo lurus paling ‘digosok’ (baca:seterika). Gigi lo karatan, kaki lo dibingkai swallow. Kalo pake sepatu mah paling banter adidas kelebihan satu line alias adira dengan empat lines! Lo kate asuransi? Hape? Punya kaga lo? Baju? Belinya pasti di pasar loak.”
Begitulah kehidupan bercerita. Tak perlu si Gaul dan si Kolot bercerita dengan lisannya. Anak manusia ini lagi-lagi saling mengasingkan dan diasingkan.
“Aku berkuasa dan kau tak bisa apa-apa! Tanahmu milikku. Kau harusnya tak perlu bersedih kalau pasukan di belakang mulai menyerok rumahmu. Bukankah kau sudah terbiasa susah?? Terimalah.
Lagi-lagi saling mengasingkan dan diasingkan.
Bagaimana dengan masalah yang sensitif satu ini? ya, keyakinan—agama. Sebagian dari kta hanya ingin bergaul dengan sesama Buddhis saja, sesama Hindu saja, sesama Kristiani saja, sesama Muslim saja. Semua saling mengkafirkan. Saya benar dan kau salah, kau kafir! Kau bukan golongan selamat. Kami masuk surga dan pastinya kau akan ke neraka!
Berdasarkan pengalam pribadi, saya pernah mengikuti forum diskusi di mana disitu kami secara tak sadar di cekok bahwa kami sebagai orang muslim tidak bisa merajut tali persaudaraan dengan yang non muslim (saya tak akan menjelaskna panjang lebar), ujungnya adalah kita sebagai muslim tidak boleh kalah dengan non muslim yang sudah jelas-jelas salah akidahnya (astaghfirullahal adzim waatubuilaik) dalam beribadah. Saya merasa seperti manajer perusahaan bisnis saja yang harus selalu siap menghadapi pesaing-pesaing di luar sana—benar-benar ‘pedagang’. Apakah kita adalah golongan ibadah para pedagang? Beribadah karena persaingan dan dengan tendensi pahala dan surga?? (astaghfirullah). Landasannya selalu skriptualis. Kita diharamkan berlogika, siapa yang berlogika maka ia kafir. Jadi untuk apa kita diberikan akal kalau hanya harus patuh pada skrip saja? Sesungguhnya Allah tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Firman Allah, ‘(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah Diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyia akal sehat. (QS. 39:18).
Ironisnya, sesama muslim juga turut meramaikan fenomena perpecahan. Sabda Rasulullah Saw (Allahumma salli ‘ala muhammad wa ‘ali muhammad),”Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani 72 golongan, Islam menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat. Hadist ini kemudian menjadi legitimasi bagi beberapa kaum muslimin untuk saling mengakfirkan, menghukumi golongan masing-masinglah yang selamat. Saya masuk surga dan kau akan ke neraka!
Saya teringat pada buletin yang disebarkan seusai shalat jumat beberapa bulan yang lalu. “Berbeda Akidah Tak Akan Ada Ukhuwah” begitu kira-kira judl opini pada buletin tersebut. Opini ini menanggapi fatwa MUI ihwal mazhab Syi’ah dilegalkan sebagai mazhab Islam di Indonesia—yang mayoritas pengikutnya adalah mazhab Sunni—yang di mana MUHSIN (Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia) dideklarasikan pada bulan Mei lalu, bahwa tidak akan persaudaran di atas perbedaan akidah. Padahal majelis ukhuwah ini dilandasi pada paduan keluwesan Sunni dan militansi Syi’ah demi membina umat dalam bingkai kebhinekaan NKRI. Kemudian atas dasar perbedaan inilah kita sebagai golongan Sunni mengkafirkan saudara kita golongan Syi’ah. Begitu pula ketika mengakses internet, golongan Syi’ah juga memandang golongan Sunni ahli khilaf. Semuanya saling mengkafirkan.
Sebenarnya apa tolok ukur seseorang dapat disebut kafir? Islam pasti berbeda dengan kafir? Jadi apa perbedaannya? Sepemahaman saya, sederhananya Islam adalah kepatuhan terhadap Allah, dan kafir sebaliknya, ketidakpatuhan akan Allah. Islam tidaklah dipahami sebagai sesuatu identitas tapi sebagai nilai. Kita boleh islam karena kita keturunan keluarga islam, namun bagaimana perbuatan kita? Islam seharusnya menjadi pilihan sadar kita.
Sunni, islam. Syi’ah juga islam. Jadi, di mana kafirnya? Kenapa saling mengkafirkan?
Saya juga teringat beberapa hari lalu ketika makan siang di kantin, seorang teman bertanya pada saya, “Kau memilih yang mana antara tindakan FPI yang membela Islam ataukah tindakan golongan Islam lain yang memberikan ruang bagi agama lain untuk bergerak?”, saat itu saya cenderung pada opsi kedua. Subjektif saya mengatakan bahwa adalah baik saudara kita yang di FPI bergerak atas dasar Islam adalah agama yang benar dan menumpas apa-apa yang dapat mengganggu keislaman. Ya, saya meyakini Islam adalah agama yang hak. Namun bukan berarti ini dapat melegitimasikan saya dapat bertindak semena-mena terhadap yang lain—bertindak terlalu pragmatis. Juga, nilai atau kadar keislaman saya saat ini tidak laik menghukumi tindakan benar atau salahnya saudara-saudara kita tersebut. Teman saya menyimpulkan saya berada pada posisi ragu-ragu. Ya, saya masih belum yakin sepenuhnya. Karena jangan sampai ketika kita membela agama kita, memerdekakan agama kita, namun pada saat yang sama kita menindas yang lainnya. Ini tak lagi dapat disebut kemerdekaan. Kemerdekaan berarti berada dalam posisi tidak menindas dan tertindas. Namun, argumen saya saat itu diperkuat oleh firman Allah, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu dalam agama dan tidak mengusirmu dan negerimu. Sesungguhnya Allah menyuka orang-orang yang berlaku adil.”(QS 60:8)
Ini dapat kita lihat pada Jalaluddin Rumi, beliau tidak pernah mengabaikan sosialnya. Ketika kaum Kristiani merayakan Hari Natal, beliau membagi-bagikan permen kepada anak-anak Kristiani. Beliau juga menjalin persaudaraan dengan kaum gerejawan. Memberi bantuan bagi kelancaran ibadah atau pembangunan gereja, begitu pula kaum gerejawan yang senantiasa membantu kelancaran ibadah umat muslim di llingkungan Jalaluddin Rumi.
Saya juga hidup dalam lingkungan keluarga nonmuslim, namun kami sangat menghargai dan bertoleransi dalam hal ibadah. Tak pernah sedikitpun kami mempermasalahkan bahkan membicarakan tentang perbedaan agama, namun bagaimana kami menjaga silaturahmi keluarga.
Ini fenomena nyata yang dapat kita saksikan saat ini. saling mengkafirkan, merasa diri paling baik dan paling tinggi di atas yang lainnya. Bukankah Allah yang berkuasa menghukumi sesuatu? Firman Allah, “...menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan dia pemberi keputusan yang terbaik.” (QS 6:57)
Bukankah seseorang dihukumi berdasarkan pengetahuannya?
Allah berfirman, “Waidzqulna lilmalaikatis juduliadama fasajadu illa iblis. Abawastakbar, wakaana minal kafirin”, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat,”sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak danmenyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.(QS 2:34) Astaghfirullahaladzim waatubuilaik.
Orang-orang yang merasa benar dan sombong laiknya Iblis yang enggan bersujud pada Adam.
Mengapa kita tak sejenak bertindak tidak berdasarkan eggo-ego individu, kelompok, agama, dan berbagai ego-ego partikulir lainnya? Sekarang bukan saatnya mempermasalahkan perbedaan di antaranya. Sekiranya wajar terdapat banyak perbedaan di alam ini, namun bagaimana kita menarik benang merah dari perbedaan-perbedaan ini, membawa ego kemanusiaan tanpa memandang siapa pun dia, agama apapun, mazhab apapun, kaya, miskin, dan sebagainya, ketika dia tertindas, kita sebagai manusia wajib memerdekakannya.
Persatuan, perdamaian, persaudaraan lahir dari ego semesta, bukan agama, kelompok, bahkan individu.
Wallahualam bishawab.
p.s: Tulisan ini hanyalah renungan penulis selama beebrapa waktu belakangan, tidak ada niat mendiskreditkan siapa-siapa. Belajar menggambarkan renungan atas realita yang ada disekitarya. Astaghfirullahaladzim waautubuilaik.
Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar