I made this widget at MyFlashFetish.com.

Rabu, 19 Oktober 2011

Sense of Belonging yang Rendah


Salam.
Digemakan ayat suci pukul 04.28 dini hari tadi (141011) membangunkan saya yang masih tertidur dengan pakaian seperti yang kukenakan saat berangkat kuliah kemarin pagi. Membayangkan mimpi yang terlewati tadi di mana kejadian kemarin terekam lagi olehnya kali ini. Ku renungkan.....

Yang melatar belakangi saya menulis catatan ini adalah opini-opini yang saya dapatkan kemarin (Kamis, 13102011) pada saat mengikuti seminar dengan tema  “Dari Social Network Menuju Collaboration Network” dan membaca salah satu opini di koran “Kurangnya Kepercayaan Rakyat Terhadap Pemimpin”.

Kepemimpinan strategis dalam suatu organisasi sangat penting. Mengapa? Karena ini memberikan visi dan arah untuk pertumbuhan dan keberhasilan organisasi. Kepemimpinan strategis tidak hanya  memberikan arah tetapi juga membangun sense of belonging dan keselarasan dalam kelompok kerja mereka dalam menghadapi dan menerapkan perubahan yang terus menerus.

Pemimpin harus mengkomunikasikan visi perusahaan kepada segenap pelaku organisasi. Visi berupa mimpi yang harus dicapai oleh organisasi. Ibarat sebuah kapal lengkap dengan awaknya yang masing-masnig memimiliki spesilisasi, tanggung jawab dan tugasnya maka seorang pemimpin adalah kapten kapal tersebut. Seorang kapten tidak sekedar berfungsi mengkoordinir bagaimana setiap bagian kerja namun lebih dari itu, dia bertugas menentukan arah dan tujuan dari kapal dan memastikan bahwa setiap fungsi melaksanakan tugasnya demi tercapainya tujuan yang ditetapkan. Tanpa visi atau tak dipahaminya visi oleh semua pelaku organisasi, maka organisasi akan berjalan tanpa arah dan tujuan. Pada organisasi semacam ini, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, pertama, organisasi tersebut dalam menjalankan operasional kesehariannya asal jalan begitu saja, sedangkan kemungkinan yang lain adalah setiap individu fokus mengejar kepentingan pribadi masing-masing (gaji, misalnya) dan organisasi tidak lebih dari sekedar lembaga atau brand yang menaungi mereka. Ini membuat pelaku-pelaku organisasi mengalami disorientasi. Adanya resistensi dan mempertahankan status quo dalam menghadapi perubahan. 

Visi dan strategi organisasi berkaitan erat dengan efektivitas kepemimpinan. Tanpa adanya efektivitas kepemimpinan, pemimpin tak lebih dari sekedar simbol yang tiada arti. The real pemimpin—bukan hanya pimpinan—adalah ia yang mampu dan baik dalam memberikan ide-ide atau konsep, bagi dirinya dan orang lain dan mampu dalam tindakan.

Kemudian apa hubungannya dengan seminar “Dari Social Network Menuju Collaboration Network”? Pembicara saat itu mengatakan bahwa sekarang kita harus sensitif terhadap perubahan. Sekarang  adalah zamannya collaboration network, tidak ada posisi otoritas subjek dan objek. Yang dapat saya tangkap dari collaboration network adalah adanya peran serta segala pihak yang berpengaruh terhadap suatu organisasi. Membuka paradigma horizontal. Dalam perusahaan bisnis, pelanggan, supplier, dan sebagainya juga turut serta dalam bagaimana menciptakan produk oleh produsen. Sekalipun pimpinan dalam organisasi adalah seorang pemimpin yang super, tetap saja organisasi tidak akan bergerak ke arah yang diharapkan tanpa adanya partisipasi dari anggota-anggota organisasi. Artinya, tidak terjadi pula kolaborasi antarpelaku organisasi secara internal.
Kita mungkin dapat melihat masalah-masalah yang ada di Fakultas Ekonomi kita dengan pendekatan ini—tanpa adanya maksud berprasangka buruk, namun lebih kepada bersikap kritis atas realitas yang ada. Pembicara kedua pada saat seminar mengatakan bahwa Lembaga Kemahasiswaan hari ini melihat semut di ujung jalan tapi tidak melihat gajah di pelupuk mata, artinya adalah aktivis-aktivis kampus berkoar-koar turun ke jalan—ke luar—memperjuangkan sesuatu yang jauh daripada berani mengkritisi atau memprotes secara aksi permasalahan yang ada di Fakultas kita. Beliau mungkin belum tahu apa yang sudah dilakukan oleh Lembaga Kemahasiswaan (LEMA) sebelumnya. LEMA melakukan beberapa langkah dalam mengkritsi berbagai permasalah yang ada di Fakultas yang pertama yaitu dengan mengadakan dialog kemahasiswaan—cara kekeluargaan—sebagai forum ‘curhat’ segenap mahasiswa yang merasa banyak permasalahan yang terjadi di Fakultas ini. Beberapa kali dialog ini dilakukan oleh LEMA walaupun jawaban birokrasi dari semua dialog adalah ‘Iya, nanti kita tampung’. Bukan berarti LEMA tidak ingin melakukan aksi dalam menghadapi permasalahan ini, menurut pengamatan saya bahwa, beberapa anggota LEMA masih rela mempertahankan ‘cara keluarga’ untuk memperbaiki atau menyelesaikan masalah di Fakultas bersama orang tua-orang tua kita walaupun jawaban mereka tidak memberikan perubahan yang berarti walaupun beberapa anggota LEMA sudah merasa bahwa dialog kemahasiswaan bukan lagi cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Pada masalah ini dapat dilihat bahwa tidak terjadinya collaboration secara internal antarpelaku organisasi . paradigma hirarkis, birokrasi adalah subjek, mahasiswa objek.
Pertanyaannya kemudian, permasalahan apa yang ada di Fakultas dan apa penyebabnya? Dari sisi akademik, ada sebagian dosen yang tidak menerapkan SCL, tidak membiarkan mahasiswa mengkritisi teori-teori (bayangkan saja ketika mahasiswa mengkritisi teori, ia mendapatkan IP 0,0 dalam 4 semester!), ini membuat mahasiswa tidak dapat dapat berpikir dinamis—akibat gengsi seorang dosen. Kemudian, dosen yang masuk kelas hanya untuk mengabsen kemudian keluar dan memberikan pertimbangan nilai dengan nominal rupiah yang memberatkan mahasiswa tanpa memberikan atau membuka forum diskusi belajar dan mengajar. Selanjutnya, masalah akomodasi infrastruktur yang tidak mendukung proses perkuliahan dan aktivitas LEMA—misalnya AC hanya sebagai pajangan, WC yang berbau akibat kekurangan air sehingga kita harus menumpang buar air dan berwudhu di Fakultas tetangga setiap harinya, bahkan di Pertamina—menurut WD III periode sebelumnya, yang dapat menyaingi dana Fakultas Ekonomi hanyalah Fakultas Kedokteran! Ini melegitimasikan bahwa FE mampu membangun infrastruktur yang lebih hanya saja ‘kita tunggu saja tanggal mainnya’. Namun ketika pertanyaan kenapa infrastruktur ini masih juga tidak memadai pada bagian perlengkapan, beliau menyatakan bahwa, dana yang kita gunakan adalah dana dari pusat. Kita tidak dapat membangun infrastruktur ketika pihak pusat belum meng-acc rencana pembangunan ini. Kontradiksi.
Salah satu pembicara pada seminar kemarin juga mengatakan mengapa LEMA tidak mengkritisi secara aksi ‘pintu alfamart’ (pintu dahulu, alfamart beserta isinya kemudian, haha) dan TV, beserta taman yang dibangung saat ini*. Berapa banyak dana yang harus dikeluarkan Fakultas dalam membangun ini daripada menambah buku-buku perpustakaan yang dari zaman batu masih ada di perpustakaan kita, dari pada WC yang kering. Teringat kejadian setelah seminar kemarin, saya dan teman ingin melaksanakan shalat zuhur dan mendapati tempat wudhu Mushalla Ekonomi dikunci karena air tidak mengalir, “Sekke mentong ine Ekonomi”, seorang bapak—sepertinya dosen—menanggapi pernyataan saya dengan menanyakan,”Anak Ekonomi, bukan?”, “Iya”, belliau menanggapi dengan cengiran agak sinis dan mengatakan “Nda sekke tapi habis airnya”. Gosh!  Airnya habis karena?? You-know-why.Mempercantik diri daripada mempercantik isi kepala. Beautiful is nothing without brain.
*Tanggapan pernyataan ini telah disebutkan sebelumnya di atas.

Masalah yang ironis juga terjadi pada pelayanan akademik. Dari sekian banyak pegawai akademik, hanya sebagian (sangat sedikit) orang saja yang mampu dan rela melayani urusan akademik mahasiswa dengan baik dan ramah. Jawaban yang diberikan selalu saja ketus tak pernah baik bahkan ekspresi datar pun tidak kecuali baginya yang you-know-what (merujuk kepada salah satu pegawai laki-laki) atau bisa kita sebut beliau MATI KIRI! Tak jarang ada seorang pegawai yang melayani dengan memarahi mahasiswa tanpa alasan dan saya yakin itu tidak pantas, bahkan mengeluarkan kata-kata kotor (sumpah ketika menulis ini saya meradang , mengencangkan rahang, dahi berkerut, alis dan mata menajam. :D), menyusahkan proses pelayanan akademik—mem-pingpong mahasiswa. Hal ini membuat mahasiswa menganggap Kantor Pelayanan Akademik adalah Neraka—sekalipun kau bisa online dan ngadem dengan santainya di dalam, dan pastinya tanpa berinteraksi, bahkan sedikitpun melirik pegawai-pegawai yang nggak banget itu. (astaghfirullahaladzim).

Apa penyebab ini semua? Sekali lagi, menurut analisis saya bahwa kita dapat melihat permasalahan ini dengan dua paradigma di awal tadi, yakni ketidakefektifan kepemimpinan dan tidak adanya kolaborasi antarpelaku organisasi.
Pelaku-pelaku organisasi mungkin tidak memahami ‘mimpi’ kita—mimpi Fakultas Ekonomi. Mungkin tidak terimplementasinya kepemimpnan strategis—terkomunikasikannya visi kita dengan baik—sehingga pelaku-pelaku organisasi ini tidak memiliki sense of belonging terhadap sesuatu yang sedang dijalankannya saat ini dan selama ini. Atau kah adanya resistensi, menolak perubahan sehingga tidak adanya inisiatif berkolaborasi dengan pihak-pihak yang berpengaruh terhadap fakultas. Pelaku-pelaku benar-benar hanya menjalankan aktivitas organisasi sebagai rutinitas belaka, yang terpenting adalahsaya mendapat gaji dan saya dapat menghidupi diri saya dan keluarga saya.  Birokrasi—sebagian pelaku organisasi—menganggap mereka subjek dan mahasiswa dijadikan objek, “kami (birokrasi) tidak butuh kamu, tapi kamu butuh kami”. Tak ada rasa kesatuan antara Anda dan kami, tak ada pemahaman bahwa segenap pelaku dalam Fakultas bahkan pegawai CS sekalipun adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam berjalannya aktivitas Fakultas. Namun, tak hentinya terima kasih ku haturkan kepada kalian Bapak dan Ibu yang ada di ‘atas’ yang membantu kami dalam aktivitas perkuliahan dan nonperkuliahan.

Bukan berarti tak ada masalah seprti ini di LEMA. LEMA yang disoriented biasanya dijalankan oleh orang-orang yang belum paham apa visi LEMA (berupaya menyinggung diri sendiri). Lagi-lagi menjalankan kepengurusan hanya sebagai rutinitas tahunan, “Oh giliran ta mi sekarang mengurus di’, ayok buat proker, selesaikan proker”. Tak terpahami transformasi nilai yang terjadi dalam proses ini. keberhasilan kepengurusan hanya dianggap ketika setiap departemen mampu menyelesaikan proker-proker yang ada tanpa ada pertimbangan nilai. Ini sama saja halnya kaum materialis yang hanya memperhitungkan varibel kuantitas yang selama ini kita teriakkan TIDAK untuknya. Say no to drugs ?? Say NO to Capitalism? Or...say NO to LEMA ?? (astaghfirullah, naudzubillah >.)
Juga, belum adanya sense of belonging yang berakibat tidak adanya rasa tanggung jawab, apatis, dan pragmatis (eaaaa) dalam menjalankan kepengurusan. Di atas telah disebutkan bahwa organisasi yang tak jelas arahnya dapat terjadi dua kemungkinan yakni, pelaku organisasi hanya menjalankan kepengurusan asal jalan saja dan fokus mencapai kepentingan pribadi. Kalau di atas tadi organisasi bisnis self-interest-nya adalah gaji, di LEMA adalah ‘aktualisasi diri’ dalam artian jabatan hanya  dipakai sebagai ‘parfum’ yang tidak melekat pada tubuh (You know what the meaning of the maksuddon’t you?? Yeah, udang di balik batu)

p.s : Sekali lagi tulisan kali ini sebuah bentuk perenungan atas tanggung jawab saya sebagai mahasiswa di bidang akademik dan lembaga. Mencoba menyindir diri sendiri, yang selama ini berkutat untuk mengupgrade diri dalam proses belajar di kelas dan di lembaga sebagai salah satu media untuk menuju insan paripurna yang masih sangat jauh dari kesempurnaan. Mungkin kalian bisa bilang saya egois kalau dengan berlembaga adalah untuk mengupgrade diri dan menuju keparipurnaan. Namun kalian harus tahu, dengan saya memperbaiki diri saya, saya akan sedapat mungkin berlaku baik terhadap lingkungan sekitar. Semoga kalian mengerti maksud saya, “Menjalani hidup sepenuhnya di luar berawal dari Dalam”.

Wassalam.

Senin, 10 Oktober 2011

Mengaburnya Rasa Persaudaraan Antarmanusia


Berbeda akidah tak akan ada ukhuwah?
Aku muslim dan kau kafir.
Bersaudara? Never!

Realita sekarang ini semakin jauh dari perdamaian, persaudaraan, persatuan. Setiap kelompok juga individu saling menjustifikasi kebenaran yang ada pada kelompok dan diri masing-masing. ‘Saya benar dan kau salah’, ‘saya muslim dan kau kafir’, ‘saya kay dan kau miskin’, ‘saya pintar dan kau bodoh’, ‘gue gaul dan elo nggak’, ‘aku indah dan kau jelek’, aku berkuasa dan kau tak bisa apa-apa’, aku ini dan kau itu. Apa lagi?

Banyak dari saudara kita yang kelebihan bahkan berlimpahan materi yang seharusnya dekat dengan mereka yang kekurangan, justru semakin menjauhkan diri. Gengsi bahkan pelit untuk berbagi sedikit dari yang berlimpahan itu. Masing-masing mengasingkan diri dan diasingkan.

Beberapa cendekiawan tak lagi menjalankan kewajibannya sebagai orang yang tahu maka harus memberitahu. cendekiawan tak lagi rela berbagi ilmu kepada  mereka yang tak sanggup mengenyam pendidikan yang makin hari marak menstandar internasionalkan institusi pendidikannya dan dengan biaya yang ‘internasional’ pula. Tak sanggup pintar akibat negara yang ‘salah baca’ UU 45 atau lupa sudah menetapkan UU tersebut, yakni pasal 34 “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” dan pasal 31, 1) Tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Tapi semua bisa lihat tanpa mata, negara ‘salah baca’, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara keterlantarannya oleh negara”. Orang-orang lagi-lagi mengasingkan diri yang lainnya. Orang-orang pintar mendukung negara dalam proses ‘pembodohan’.

Gue anak gaul, mann!! Nih, gue pake BB. Di kantong kiri gue ada iphone, di tas gue ada ipad, tiap weekend gue clubbing coii..., liat nih jari-jari gue berkilau gara-gara berlian mangkir di sini, pergelangan tangan gue makin indah dengan rolex. Kaki gue tambah cantik minimal dengan gosh. Senyum gue makin manis dengan behel pelangi. Gue makin gaul dengan roda empat gue gas kemana-mana. Elo apa?? Rambut elo lurus paling ‘digosok’ (baca:seterika). Gigi lo karatan, kaki lo dibingkai swallow. Kalo pake sepatu mah paling banter adidas kelebihan satu line alias adira dengan empat lines! Lo kate asuransi? Hape? Punya kaga lo? Baju? Belinya pasti di pasar loak.”
Begitulah kehidupan bercerita. Tak perlu si Gaul dan si Kolot bercerita dengan lisannya. Anak manusia ini lagi-lagi saling mengasingkan dan diasingkan.

“Aku berkuasa dan kau tak bisa apa-apa! Tanahmu milikku. Kau harusnya tak perlu bersedih kalau pasukan di belakang mulai menyerok rumahmu. Bukankah kau sudah terbiasa susah?? Terimalah.
Lagi-lagi saling mengasingkan dan diasingkan.

Bagaimana dengan masalah yang sensitif satu ini? ya, keyakinan—agama. Sebagian dari kta hanya ingin bergaul dengan sesama Buddhis saja, sesama Hindu saja, sesama Kristiani saja, sesama Muslim saja. Semua saling mengkafirkan.  Saya benar dan kau salah, kau kafir! Kau bukan golongan selamat. Kami masuk surga dan pastinya kau akan ke neraka!
Berdasarkan pengalam pribadi, saya pernah mengikuti forum diskusi di mana disitu kami secara tak sadar di cekok bahwa kami sebagai orang muslim tidak bisa merajut tali persaudaraan dengan yang non muslim (saya tak akan menjelaskna panjang lebar), ujungnya adalah kita sebagai muslim tidak boleh kalah dengan non muslim yang sudah jelas-jelas salah akidahnya (astaghfirullahal adzim waatubuilaik) dalam beribadah. Saya merasa seperti manajer perusahaan bisnis saja yang harus selalu siap menghadapi pesaing-pesaing di luar sana—benar-benar ‘pedagang’. Apakah kita adalah golongan ibadah para pedagang? Beribadah karena persaingan dan dengan tendensi pahala dan surga?? (astaghfirullah). Landasannya selalu skriptualis. Kita diharamkan berlogika, siapa yang berlogika maka ia kafir. Jadi untuk apa kita diberikan akal kalau hanya harus patuh pada skrip saja? Sesungguhnya Allah tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Firman Allah, ‘(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah Diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyia akal sehat. (QS. 39:18).
Ironisnya, sesama muslim juga turut meramaikan fenomena perpecahan. Sabda  Rasulullah Saw (Allahumma salli ‘ala muhammad wa ‘ali muhammad),”Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani 72 golongan, Islam menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat. Hadist ini kemudian menjadi legitimasi  bagi beberapa kaum muslimin untuk saling mengakfirkan, menghukumi golongan masing-masinglah yang selamat. Saya masuk surga dan kau akan ke neraka!
Saya teringat pada buletin yang disebarkan seusai shalat jumat beberapa bulan yang lalu. “Berbeda Akidah Tak Akan Ada Ukhuwah” begitu kira-kira judl opini pada buletin tersebut. Opini ini menanggapi fatwa MUI ihwal mazhab Syi’ah dilegalkan sebagai mazhab Islam di Indonesia—yang mayoritas pengikutnya adalah mazhab Sunni—yang di mana MUHSIN (Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia) dideklarasikan pada bulan Mei lalu, bahwa tidak akan persaudaran di atas perbedaan akidah. Padahal majelis ukhuwah ini dilandasi pada paduan keluwesan Sunni dan militansi Syi’ah demi membina umat dalam bingkai kebhinekaan NKRI. Kemudian atas dasar perbedaan inilah kita sebagai golongan Sunni mengkafirkan saudara kita golongan Syi’ah. Begitu pula ketika mengakses internet, golongan Syi’ah juga memandang golongan Sunni ahli khilaf. Semuanya saling mengkafirkan.

Sebenarnya apa tolok  ukur seseorang dapat disebut kafir? Islam pasti berbeda dengan kafir? Jadi apa perbedaannya? Sepemahaman saya, sederhananya Islam adalah kepatuhan terhadap Allah, dan kafir sebaliknya, ketidakpatuhan akan Allah. Islam tidaklah dipahami sebagai sesuatu identitas tapi sebagai nilai. Kita boleh islam karena kita keturunan keluarga islam, namun bagaimana perbuatan kita? Islam seharusnya menjadi pilihan sadar kita.
Sunni, islam. Syi’ah juga islam. Jadi, di mana kafirnya? Kenapa saling mengkafirkan?

Saya juga teringat beberapa hari lalu ketika makan siang di kantin, seorang teman bertanya pada saya, “Kau memilih yang mana antara tindakan FPI yang membela Islam ataukah tindakan golongan Islam lain yang memberikan ruang bagi agama lain untuk bergerak?”, saat itu saya cenderung pada opsi kedua. Subjektif saya mengatakan bahwa adalah baik saudara kita yang di FPI bergerak atas dasar Islam adalah agama yang benar dan menumpas apa-apa yang dapat mengganggu keislaman. Ya, saya meyakini Islam adalah agama yang hak. Namun bukan berarti ini dapat melegitimasikan saya dapat bertindak semena-mena terhadap yang lain—bertindak terlalu pragmatis. Juga, nilai atau kadar keislaman saya saat ini tidak laik menghukumi tindakan benar atau salahnya saudara-saudara kita tersebut. Teman saya menyimpulkan saya berada pada posisi ragu-ragu. Ya, saya masih belum yakin sepenuhnya. Karena jangan sampai ketika kita membela agama kita, memerdekakan agama kita, namun pada saat yang sama kita menindas yang lainnya. Ini tak lagi dapat disebut kemerdekaan. Kemerdekaan berarti berada dalam posisi tidak menindas dan tertindas. Namun, argumen saya saat itu diperkuat oleh firman Allah, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu dalam agama dan tidak mengusirmu dan negerimu. Sesungguhnya Allah menyuka orang-orang yang berlaku adil.”(QS 60:8)
Ini dapat kita lihat pada Jalaluddin Rumi, beliau tidak pernah mengabaikan sosialnya. Ketika kaum Kristiani merayakan Hari Natal, beliau membagi-bagikan permen kepada anak-anak Kristiani. Beliau juga menjalin persaudaraan dengan kaum gerejawan. Memberi bantuan bagi kelancaran ibadah atau pembangunan gereja, begitu pula kaum gerejawan yang senantiasa membantu kelancaran ibadah umat muslim di llingkungan Jalaluddin Rumi.
Saya juga hidup dalam lingkungan keluarga nonmuslim, namun kami sangat menghargai dan bertoleransi dalam hal ibadah. Tak pernah sedikitpun kami mempermasalahkan bahkan membicarakan tentang perbedaan agama, namun bagaimana kami menjaga silaturahmi keluarga.
Ini fenomena nyata yang dapat kita saksikan saat ini. saling mengkafirkan, merasa diri paling baik dan paling tinggi di atas yang lainnya. Bukankah Allah yang berkuasa menghukumi sesuatu? Firman Allah, “...menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan dia pemberi keputusan yang terbaik.” (QS 6:57)
Bukankah seseorang dihukumi berdasarkan pengetahuannya?

Allah berfirman, “Waidzqulna lilmalaikatis juduliadama fasajadu illa iblis. Abawastakbar, wakaana minal kafirin”, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat,”sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak danmenyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.(QS 2:34) Astaghfirullahaladzim waatubuilaik.
Orang-orang yang merasa benar dan sombong laiknya Iblis yang enggan bersujud pada Adam.

Mengapa kita tak sejenak bertindak tidak berdasarkan eggo-ego individu, kelompok, agama, dan berbagai ego-ego partikulir lainnya? Sekarang bukan saatnya mempermasalahkan perbedaan di antaranya. Sekiranya wajar terdapat banyak perbedaan di alam ini, namun bagaimana kita menarik benang merah dari perbedaan-perbedaan ini, membawa ego kemanusiaan tanpa memandang siapa pun dia, agama apapun, mazhab apapun, kaya, miskin, dan sebagainya, ketika dia tertindas, kita sebagai manusia wajib memerdekakannya.
Persatuan, perdamaian, persaudaraan lahir dari ego semesta, bukan agama, kelompok, bahkan individu.
Wallahualam bishawab.


p.s: Tulisan ini hanyalah renungan penulis selama beebrapa waktu belakangan, tidak ada niat mendiskreditkan siapa-siapa. Belajar menggambarkan renungan atas realita yang ada disekitarya. Astaghfirullahaladzim waautubuilaik.

Wassalam.

Sabtu, 27 Agustus 2011

Memilih Pilihan untuk Memilih Pilihan


Jika saja landasan keimanan adalah keturunan, sungguh beruntung nasib orang-orang yang terlahir dari rahim seorang muslimah. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang terlahir dari seorang Yahudi, Nasrani, ataupun musyrik? Apakah mereka berdosa lantaran takdirnya?
Jika kita berbicara tentang kebenaran Islam, kita pasti selalu membahasnya dari sudut pandang Islam juga, itu memang tidak salah. Tapi, bukti-bukti yang kita miliki tidak akan berlaku jika disuguhkan pada pemeluk agama lain ataupun atheis.
Sering kita berbangga bahwa kebenaran Islam adalah ayat, “Innaddina indallahil-islaam”, ayat itu sama sekali tidak salah dan memang satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah hanyalah Islam. Tapi, apakah orang-orang nonmuslim mau menerima hal tersebut? Dan bagaimana jika mereka mengatakan bahwa Yesus adalah anak Allah seperti yang dijelaskan dalam kitab Injil. Apakah kita juga harus juga meyakininya? Tentu tidak, kan? Begitu pun dengan mereka.
Jika ingin menguji kebenaran suatu agama tentu ada standar yang berlaku secara universal. Dan yang diakui sekarang itu adalah akal atau logika.
Namun, ada sebagian orang yang menolak hal itu karena mereka berpendapat bahwa, “Bukankah keimanan itu tak harus dibahas dengan menggunakan akal, keimanan adalah sesuatu yang pasti dan datangnya dari Allah Swt. Tak perlu logis atau tidak, dan jika iman bertentangan dengan maka akal harus terkalahkan.” Bagaimana mungkin kita bisa yakin terhadap sesuatu, kalau kita tidak tahu seluk beluknya. Kenapa kita harus yakin? Karena jika keimanan tidak perlu pembuktian, maka akan bermunculan berbagai macam keyakinan baru yang semakin tidak logis.
Berapa macam keyakinan (agama) yang dihadapkan pada kita hari ini? Banyak (sangat banyak). Belum lagi dalam setiap keyakinan memiliki ‘sub keyakinan’ atau bisa kita sebut mazhab. Bahkan mazhab-mazhab itupun memiliki anak-anak golongan lagi. Begitu banyak pilihan yang harus kita pilih sebagai landasan hidup sebagai jalan untuk menyempurna. Bahkan untuk memilihnya pun kita tetap memiliki lagi pilihan-pilihan daripada cara-cara untuk menganut satu dari keyakinan-keyakinan yang berbaris mempromosikan diri masing-masing.

Penulis : Nursidah, mahasiswi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Unhas.
Kohati Kom. Ekonomi Unhas

Kamis, 11 November 2010

Menyambut 'hadiah' di pagi hari

Huwwwwaaaaaaaaaaaaaa.... Gara-gara online di HP.. Salah pencet.. Smua entri deleted! Removed! Cleaned!!! T_______T